Minggu, 21 Juni 2009

Sepenggal Kisah Hidupku...

Ini adalah sepenggal kisah hidupku, yang pernah aku alami pada tahun-tahun terakhirku kuliah di Jogja... suatu peristiwa yang banyak merubah hidupku dan tak pernah aku lupa. karena penggalan kisah ini hanyalah sebagian kecil dari kepingan-kipingan waktu yang sedang aku coba susun menjadi sebuah perjalan hidup seorang Yoga...

Gerimis baru saja reda. Kabut masih menyelimuti lembah di Kaki Merapi. Kulirik jam di tangan kananku, sudah hampir jam lima sore. Aku harus kembali ke rumah Mbah Marijan. Karena aku sama sekali tidak membawa perlengkapan camping jika bermalam di lembah ini.

Baru saja aku hendak meninggalkan lembah, alunan tembang Dhandhang Gulo kembali terdengar lembut di telingaku. Aku selalu mengunjungi lembah ini, sebagai tempat aku menangkan diri untuk menulis. Dan setiap kali aku hendak beranjak, selalu saja terdengar suara wanita yang menyanyikan tembang Dhandhang Gulo. Suaranya sangat lembut dan terdengar begitu jauh. Entah siapa yang menyanikan dan dari mana suara itu berasal. Biasanya aku mendengarkan alunan tembang tersebut sambil meninggalkan lembah ini. Tapi kali ini aku menjadi sangat penasaran. Aku benar-benar ingin tahu dari mana suara itu berasal.

Aku hentikan langkahku. Kupandang sekelilingku, tidak ada apa-apa. Selain hamparan bukit yang di selimuti kabut. Aku pasang telingaku baik-baik. Mencoba mencari arah suara itu di sela-sela nyanyian kumbang menyambut malam.

Hari semakin gelap, hawa dinginpun mulai merayapi tubuhku dan aku masih mencari asal suara itu. Aku yakin suara itu berasal dari sini. Dari lembah merapi! Aku sudah berjanji pada Mbah marijan untuk kembali sebelum maghrib. Tapi rasa penasaranku mengurungkan aku untuk segera kembali ke rumah Mbah Marijan. Sekitar setengah jam lagi pasti terdengar adzan maghrib. Seandainya aku pulang sekarangpun, tetap saja aku tidak bisa ikut sholat maghrib berjamah di mushola dekat rumah Mbah Marijan. Tidak apa-apa aku akan sholat di sini saja, semoga saja Mbah Marijan masih menyisakan sayur lodehhnya untuk makan malamku nanti.

Aku susuri sungai kecil di dasar lembah, firasatku kuat menyatakan bahwa suara tersebut berasal dari sekitar sungai. Memang nyanyian tersebut terdengar semakin jelas dari sini. Dan suara gemerisik air seolah menjelma menjadi alunan musik yang mengiringi nyanyian tersebut. Benar-benar suara yang merdu.

Aku mencoba menghayati setiap alunan nada pada nyanyian tersebut. Semakin dalam aku menghayatinya, semakin aku merasa sangat familiar dengan pemilik suaranya. Entah siapa, tapi aku benar-benar mengenal suara itu. Entah dimana dan kapan aku pernah mendengarnya. Tapi suara yang mendayu-dayu tersebut, membangkitkan kerinduan tersendiri dalam relung-relung hatiku. Seperti ada perasaan cinta yang tumbuh kembali dalam dadaku. Entah pada siapa.

Aku pejamkan mataku. Kuhirup nafas dalam-dalam. Udara senja di lembah Merapi benar-benar menyegarkan pikiranku. Dan suara itu masih mendayu-dayu membawakan tembang Dhandhang Gulo. Sebuah tembang Jawa kuno yang berisikan pesan-pesan moral tentang kemanusiaan dan hubungannya dengan Tuhan. Pesan-pesan moral? Dari mana aku tahu kalau tembang tersebut tentang pesan-pesan moral? Tembang itu menggunakan bahasa Jawa yang begitu halus dan aku sama sekali tidak memahaminya. Tetapi selain suara yang menyanyikannya, tembang tersebut juga sangat familiar di telingaku. Aneh! Benar-benar aneh!!! Aku seperti dipermainkan oleh perasaanku sendiri.

“Kakang…” terdengar suara wanita di belakangku begitu halus dan bergetar. Aku balikkan tubuhku perlahan. Tampak samar dibelakangku sosok wanita berbalut kain dan kebaya berwarna biru pucat. Lembaran kabut menghalangi pandanganku, aku mencoba mendekatinya.

“Kakang…” sekali lagi terdengar suara wanita tersebut. Apa dia memanggilku kakang?

“Maaf, apa mba memanggil saya?” tanyaku hati-hati.”

Tapi wanita tersebut tidak menjawab. Ia mendekatiku perlahan. Semakin dekat semakin jelaslah sosoknya kini. Ia seorang gadis muda dengan rambut panjang yang dikucir terurai. Mukanya tampak pucat, seperti menyimpan suatu kesedihan yang mendalam. Dan yang paling menarik perhatianku adalah pakaian yang dikenakannya. Sangat kuno. Aku hanya dapat melihat sosok seperti ini dimusium atau di buku-buku sejarah.

“Apa kakang sudah melupakanku, aku sudah mencari kakang sejak lama.” Terdengar suaranya bergetar.

“maaf maksud mba apa?” Tanyaku hati-hati. Ada perasaan takut dalam diriku. Aku yakin sosok di depanku adalah tidak nyata. Tetapi ada sesuatu yang mendesak dalam dadaku untuk terus menatapnya. Sebuah perasaan yang sangat nyaman saat aku memandang wajahnya.

“Usai pertempuran itu, aku mencari-cari kakang diantara mayat-mayat prajurit yang bergeletakan.” Gadis itu berkata setengah berteriak, ada nada kesal dalam kata-katanya. Dan entah kenapa pipinya basah oleh air mata.

“Aku mendengar kakang gugur. Aku mencari kakang ke palagan (medan perang) di dekat Prambanan, walaupun abu merapi telah menggelapkan mataku. Tapi aku tetap mencari kakang.” Gadis itu terisak, tak lama kemudian tangisnya pecah dan ia mendekap tubuhku, membenamkan kepalanya di dadaku sambil terisak. Aku rasakan hawa dingin dari tubuhnya. Gadis itu terus terisak sambil sesekali menyebutkan perang yang terjadi di dekat Prambanan.

Entah perang apa yang ia maksud. Lagi-lagi aku tidak merasa aneh dengan perang tersebut. Gadis itu melepaskan pelukannya dari tubuhku. Matanya yang basah menatap tajam ke arahku. Seolah-olah ia menuntut sesuatu.

“Kenapa kakang meninggalkanku?” tanyanya dengan suara yang serak. Tangisannya telah membuat suaranya tak semerdu saat dia menyanyi tadi. Tapi aku masih mendengar kelembutan pada getar suaranya.

“Kenapa kakang memutuskan untuk menjadi pemanah dan bergabung dalam perang laknat itu bersama tentara Pajang!?”

“Pemanah? Tentara Pajang?” aku bertanya pada diriku. Sesuatu seperti sedang berputar dalam otakku. Mencoba menggali ingatan yang telah lama terkubur.

Aku jadi ingat mimpi-mimpiku. Ya…mimpi yang sama yang selalu aku alami sejak aku kecil. Dimana aku terkapar di atas tanah yang lembab, dengan rasa pedih di sekujur tubuhku. Di sekitarku tubuh-tubuh bergeletakan membisu dalam kesunyian. Dalam mimpiku aku menatap kosong langit yang menghitam. Kilatan-kilatan cahaya sesekali menerangi langit diiringi suara gemuruh yang menakutkan. Aku ingat dalam mimpi-mimpiku. Hujan abu menari-nari di udara, bagaikan sebuah tarian kematian yang hendak menghantarku dalam kegelapan.

Mimpi itu selalu berulang. Dan atak pernah aku mengerti apa maknanya. Yang aku tahu aku selalu merasakan pusing yang luar biasa saat terbangun dari mimpi tersebut.

“Kakang aku mencintaimu….” Gadis itu kembali berkata dengan suara yang lemah. Suaranya terdengar samar diantara memoriku yang sedang berputar kencang tentang mimpi-mimpiku, tentang wajah gadis yang tak asing di depanku.

Aku berpikir keras, sangat keras! Hingga tak terasa darah segar keluar perlahan dari lubang hidung kananku. Kepalaku terasa pusing, tapi aku terus memaksakan diri untuk mengingat sesuatu yang terasa begitu jauh.

Akhirnya ingatanku terbentur pada suatu sosok, pada suatu waktu yang tidak pernah aku bayangkan.

Aku adalah seorang penyair muda yang memutuskan untuk bergabung bersama pasukan Pajang melawan kerajaan Jipang. Aku masih ingat dalam mimpi itu, alasan apa yang membuat aku memutuskan untuk ikut dalam berperang. Perang adalah sesuatu yang aku benci sebelumnya.

Aku ingat, gadis yang berdiri di depanku adalah gadis yang pernah aku cintai. Dia adalah Nyi Mas Kemuning, putri dari Mpu TanuBraja, dia memiliki padepokan di Dusun larangan di kaki Merapi. Kami saling mencintai. Tapi Mpu menentang cinta kami. Dan menjodohkan Nyi Mas dengan salah seorang adipati dari Kerajaan Pajang. Saat itu aku merasa sakit hati dan kecewa. Karena itulah aku memutuskan untuk meninggalkan duniaku sebagai seorang penyair dan memutuskan untuk bergabung menjadi Prajurit Pajang yang saat itu sedang bersiap-siap menghadapi bala tentara Jipang.

Dalam proses seleksi, aku terpilih menjadi seorang pemanah. Dalam pertempuran melawan kerajaan Jipang di dekat prambanan, aku berdiri di garis depan. Ya aku ingat, saat itu terjadi beberapa gempa kecil di sana. Katanya Merapi akan meletus karena tidak merestui perang saudara antara Pajang dan Jipang. Tetapi perang itu tetap digelar. Karena sebuah ambisi dan kehormatan yang kami sendiri tidak pernah memahaminya. Sebagian besar prajurit menjadikan perang ini sebagai pengorbanan terhadap negara. Tetapi aku menjadikannya sebagai sebuah pelarian dari cinta yang tidak direstui. Aku merasa kecil.

Suasana semakin gelap. Gempa-gempa kecil semakin kerap terjadi menyertai terompet dan genderang perang, yang bersahut-sahutan mengobarkan semangat dan amarah.

Aku teringat pada ribuan anak panah yang berhamburan di udara, melesat ke arah kami menembus abu merapi yang berjatuhan dari udara. Aku teringat bagaimana anak-anak panah itu menerjang kami. Beberapa dari kami berjatuhan dengan teriakan yang menakutkan dan terus berjatuhan.

Aku juga teringat bagaimana kami mencoba melepaskan anak-anak panah kami diantara hujan anak panah dan abu Merapi yang menerjang kami. Hatiku tergetar saat itu. Aku seperti tidak menyadari apa yang sedang aku lakukan. Aku tak pernah membayangkan sebelumnya. Berdiri digaris depan sebuah pertempuran dengan busur di tangan. Dengan tubuh-tubuh berjatuhan di sekelilingku. Mereka adalah anak-anak muda seperti aku. Anak-anak muda yang seharus memiliki jalan hidup yang lebih baik, ketimbang harus berakhir di medan perang seperti ini.

Masih teringat dalam ingatanku, bagaimana saat senopati perang memerintahkan pasukan panah untuk meletakkan busur dan menggantinya dengan pedang. Ia mengayunkan pedangnya, menghunus ke arah barisan musuh. Disusul dengan gelombang teriakan para prajurit yang merangsek ke depan. Aku berada dalam barisan tersebut. Berlari ke arah barisan musuh dengan pedang terhunus.

Sementara pada barisan musuh. Mereka juga melakukan hal yang sama. Berlari ke arah kami dengan pedang-pedang dan tombak terhunus. Aku bisa merasakan amarah dan semangat mereka. Sesaat aku merasa takut. Tapi yang ada dalam pikiranku adalah wajah Nyi Mas. Hanya itu!

Dua barisan yang melaju berlawanan saling beradu. Terdengar pekikan kematian diantara denting besi-besi senjata yang saling beradu. Semuanya seperti mengalir begitu cepat. Tak pernah kubayangkan sebelumnya aku akan berada dalam posisi seperti ini. Seumur hidupku yang aku hadapai hanyalah pena dan lembaran-lembaran lontar. Aku selalu bertempur dengan pikiranku sendiri. Tapi kini… pena itu telah berganti pedang, lembaran lontar itu telah berganti dengan selapis jiwa yang bertuliskan kisah tentang ketakutan, amarah dan kekecewaan. Semuanya tertulis menjadi satu rangkaian kisah yang memilukan. Aku melihat orang-orang berteriak, saling mencari peluang untuk membunuh dan bertahan. Tidak kupercaya kami semua saat itu saling membunuh dan saat disaat yang bersamaan juga kami berdoa pada Tuhan yang sama. Memohon perlindungan dan keselamatan. Perang memang tidak pernah dimengerti. Dan yang tak lebih kumengerti lagi, aku berada pada situasi yang tidak pernah aku suka. Selama ini aku menentang kekerasan tapi justru saat ini aku menjadi pelaku kekerasan dalam sebuah wadah yang bernama perang!

Di antara ayunan pedang, wajah Nyi Mas semakin kuat membayang dalam benakku. Aku merasa semakin jauh dari tempatku berada. Semua kegaduhan seakan berangsur sirna. Aku merasa sendiri, kosong tak berarti. Ketakutan, amarah dan kekecewaan yang tertulis dalam lembaran jiwaku, berganti dengan alunan puisi sunyi tanpa makna. Entah di mana aku dan siapa aku sekarang. Aku seperti tubuh kosong yang melayang, tanpa jiwa, tanpa pedang, tanpa pikiran. Sendiri dalam ruang hampa yang melayang.

Sesuatu membuat mataku tersa pedih. Aku mencoba membuka ke dua mataku. Rasa pedih membuat kelopak mataku terasa berat. Pandangan pertamaku tertuju pada langit yang menghitam. Dengan butiran-butiran abu hitam yang berguguran dari langit serupa hujan. Abu-abu itu sangat menyesakkan pernapasan. Kucoba bergerak tapi aku tak mampu menggerakkan badanku sedikitpun, seluruh persendianku terasa linu dan sesuatu yang perih di perut kananku terasa begitu menyiksa. Ada sesuatu yang basah kurasakan mengalir di sana. Aku melihat sekitarku dengan pandangan yang samar. Tubuh-tubuh beku bergelimpangan dengan wajah-wajah yang pusat. Aku rasakan tanah tempatku berbaring begitu basah dengan uap amis darah.

Sementara di sebelah selatan, aku lihat sesekali langit yang hitam diterangi oleh warna merah yang menyala. Diiringi dengan suara gemuruh yang menakutkan. Rupanya Kyai Merapi tidak merestui pecahnya perang saudara ini.

Aku hanya berbaring menunggu waktu, disela-sela hujan abu, diantara mayat-mayat yang membisu dan gemuruh murka Kyai Merapi. Aku hanya berbaring dalam dekapan sunyi dengan bayangan Nyi Mas yang menari dalam hatiku. Seperti bidadari kecil yang meniti tangga-tangga langit dengan sayap-sayap sutra yang mengembang laksana merak.

“Hanya itu yang aku ingat..” suaraku begitu lirih terdengar, bahkan oleh telingaku sendiri.

“Kau adalah benar Kakang Aryaku.” Gadis itu berkata sambil mengusap pipiku. Tangannya serasa begitu dingin menyentuh kulitku. Lebih dingin dari udara senja di lembah Merapi saat ini.

“Tahukah kakang…” gadis itu beranjak duduk disalah satu gundukan tanah tak jauh dari tempatku berdiri. Tangannya gemulai merapihkan gerai rambutnya yang terusik angin.

“Aku lari dari perjodohan itu. Aku mencarimu hingga pertempuran usai, aku tetap mencarimu hingga ke palagan dekat Prambanan. Karena apa? Karena aku sangat mencintaimu.” Gadis itu menghentikan kalimatnya. Matanya menatap tajam ke arahku.

“Nyi Mas..” aku mendekatinya perlahan. Terus terang, aku sendiri masih belum benar-benar mengerti dengan peristiwa ini. Bagaimana bisa, aku bearda dalam pertempuran yang terjadi lebih dari 500 tahun yang lalu. Tapi mimpi-mimpi itu? Dan gadis ini… seperti sebuah kepingan waktu yang tercecer.

“Kakang, berhari-hari aku meratapimu di sana. Aku tak peduli dengan bau busuk dari sisa-sisa pertempuran. Bahkan aku tidak peduli dengan amuk gunung merapi saat itu. Aku frustasi, aku kecewa dengan keputusan kakang meninggalkanku dan memilih untuk bergabung dengan pertempuran laknat itu!!”

“Maaf Nyimas, aku…”

“Aku tak tahu harus kemana lagi mencarimu kakang. Untuk pulang kerumah pun aku tidak memiliki muka lagi. Romo pun pasti mendapatkan tuba yang pahit dari tindakanku ini. Saat itu aku begitu lelah, tak ada kabar sedikitpun tentang kakang. Aku simpulkan kakang telah mati. Maka akupun harus mati.”

Aku dengar gadis itu terisak. Ia menangis dengan suara yang tak terdengar. Aku duduk di sampingnya. Kugenggam tanganya yang sedingin es itu. Aku mencoba menenangkannya.

Aku menatap hamparan lembah yang sudah mulai menghitam terselimuti senja. Aku masih terus berpikir dengan keras. Apa yang pernah terjadi pada lebih dari 500 tahun yang lalu.

“Lalu aku lari ke sini kakang…” gadis itu melanjutkan kalimatnya.

“Aku lari kelembah ini hingga aku memutuskan untuk mengakhiri hidupku disini.” Gadis itu kembali terisak, kali ini dengan pundak yang terguncang.

“Kenapa Nyi Mas?”

“Karena aku berpikir kalau kakang sangat menyukai Merapi dan dulu kakang selalu mengunjungi lembah ini untuk menulis. Aku berharap akan bertemu kakang kembali di sini. Dan harapanku terkabul… setelah sekian lama aku menunggu, akhirnya aku melihat kakang kembali lagi ke lembah ini untuk menulis.”

Aku hanya terdiam, mencoba untuk mengakui apa yang pernah terjadi lebih dari 500 tahun yang lalu. Tapi satu hal yang tidak pernah aku mengerti, bagaimana aku melewati semua ini. Dan bagaimana mimpi-mimpi itu bisa selalu muncul dalam tidurku, bahkan sejak aku kecil. Sebuah mimpi yang sebelumnya tidak pernah aku mengerti…

“Aku gembira sekali saat pertama kali melihat kakang kembali ke lambah ini, tahukah kakang kalau aku selalu menemani kakang saat kakang memulai menulis di sini?”

Aku hanya menggelengkan kepalaku sambil tersenyum.

“aku juga selalu menyanyikan dendang tembang Dhandhang Gulo saat kakang hendak beranjak pergi. Kakang masih ingat waktu kita masih kecil dulu? Saat pertama kali aku menyanyikan tembang ini di depan kakang?”

Adzan Maghrib terdengar mengalun lirih dari kejauhan. Getaran suaranya serasa kembali mengisi relung-relung pikiranku yang kosong. Gadis itu bangkit dari duduknya dan melangkah pelan ke arah sungai.

“Sudah waktunya kakang pergi…” Katanya dengan nada lirih.

Akupun bangkit dari dudukku dan mendekatinya.

“Aku akan kembali ke rumah Mbah Marijan. Malam ini aku akan menginap di sana. Besok pagi setelah sarapan, aku akan kembali lagi kesini untuk melanjutkan menulis skripsiku. Dan aku berharap Nyimas ada disini menemaniku.”

Gadis itu tersenyum, sebuah senyuman yang sangat manis menghiasi wajah pucatnya.

“Besok aku tunggu kakang di sini. Kakang hati-hati di jalan.” Dengan perlahan tubuh gadis itu tampak menjadi samar dan akhirnya menghilang dari pandanganku. Aku hanya tersenyum sambil menatap ke arahnya.

Dengan perasaan yang tak menentu. Tidak… aku akui ada perasaan senang di hatiku. Seperti sebuah kerinduan yang telah lama berkarat di hati dan kini telah terobati. Sebuah perasaan senang yang luar biasa.

Aku berjalan menelusuri jalan setapak di kaki Merapi menuju rumah Mbah Marijan. Sayup terdengar suara seorang wanita terdengar merdu menyanyikan lagu Dhandang Gulo.


Ana pandhita akarya wangsit…

kaya kombang anggayuh tawang…

susuh angin ngendinggone…

lawan galihing kangkung…

watesane langit jaladri…

tapake kuntul mabur lan gigiring panglu…

kusumo anjrah ing tawang, isine wuluh wungwang…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar